"Ini merusak rasa keadilan. Kalau dilihat perkembangannya, sebenarnya tak ada pelanggaran apapun," kata Yani. "Sepertinya hakim ini tidak bisa memahami Undang-undang secara benar," katanya rapat dengar pendapat umum dengan Prita di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, Selasa 12 Juli 2011.
"Saya menyarankan agar komisi III pada konsultasi dengan Mahkamah Agung, meminta agar hakim-hakim yang menangani kasus ini diperiksa," katanya. "Mereka menentang Undang-undang yang ada di masyarakat yaitu rasa keadilan."
Sementara politikus Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, mengusulkan Komisi III memberi peringatan. Nasir menyatakan, parlemen memang harus menghormati hakim dalam memutus, menghargai independensi hakim. "Tapi kami juga punya kewajiban menyampaikan hukum yang hidup di masyarakat. Mahkamah Agung penting untuk berhati-hati menangani perkara macam ini. Jika ketidakpuasan seseorang dipidana, akan menimbulkan preseden buruk."
"Jika kita mengeluhkan pelayanan sesuatu, kemudian keluhan itu dipidanakan, ini akan membuat orang tidak mau lagi mengritik atau mengeluh," katanya.
Nasir pun menganjurkan Prita Mulyasari mengajukan peninjauan kembali. "Ini juga bisa jadi pelajaran ke publik, untuk tidak boleh takut menghadapi kekuatan uang," kata Nasir.
Politikus Partai Amanat Nasional, Tjatur Sapto Edy, juga mengapresiasi kedatangan Prita. Wakil Ketua Komisi III ini mengucapkan terima kasih atas kehadiran Prita dan salut dengan ketegaran Prita menghadapi kasus ini.
"Kami memang pernah bertemu Mahkamah Agung dan menanyakan kasus ini," kata Tjatur. "Kami lihat antara pimpinan dan hakim-hakim lain itu tidak ada komunikasi. Kondisi bangsa kita memang seperti ini. Karena itu, jangan marah-marah, justru harus kasihan," kata Ketua Fraksi PAN itu.
Tjatur pun mengharapkan Prita segera mengajukan peninjauan kembali. "Mudah-mudahan nanti diambil alih pimpinan sehingga sejalan nanti putusan dengan kasasi perdatanya," katanya.
Hal itu perlu karena kasus perdata Prita dulu diputus majelis hakim yang meliputi pimpinan MA seperti Harifin Tumpa